Penayangan bulan lalu

Sabtu, 13 Oktober 2012

Fikrul islam karya Muhamad Ismail



MUQADDIMAH

            Membina diri dengan mendalami Tsaqafah Islamiyah adalah kewajiban atas kaum muslimin, baik mendalami nash-nash syar'iy, atau sarana-sarana yang memungkinkannya untuk mendalami dan menerapkan nash-nash tersebut. Tiada beda apakah mendalami tsaqafah yang berkenaan dengan hukum-hukum syara', atau yang berhubungan dengan pemikiran-pemikiran Islam.
            Hanya saja, satu hal yang sangat menyakitkan umat ini adalah semenjak Barat memaklumkan perang terhadap negeri-negeri Islam, sekaligus memerangi kebudayaan dan peradaban­nya. Barat kemudian membentangkan hukum-hukum, pemikiran-pemikiran, dan kekuasaan mereka di negeri-negeri Islam. Sehingga akhirnya kaum Muslimin berpaling dari Tsaqafah Islam, menyusul peristiwa pendegradasian kekuasaan Islam dan ketergelinciran kaum muslimin dari selamatnya perasaan akan kemuliaan Islam. Semua itu adalah akibat adanya propaganda-propaganda yang sesat dan menyesatkan terhadap Islam dan tsaqafahnya yang disebarkan oleh para penganut kesesatan itu.

            Karenanya, kami pandang ada suatu keperluan untuk menyebarkan sebagian tsaqafah Islamiyah ini, dengan harapan agar kiranya umat manusia, baik yang Islam maupun yang bukan, akan gandrung dengan apa yang mampu membenahi akal mereka, memperbaiki perasaan mereka, dan mengobati kemeroso­tan berpikir yang merajalela di negeri-negeri mereka.

            Kepada Allah jua kami memohon, semoga berkenan memberi pertolongan kepada kaum muslimin untuk menegakkan apa yang diwajibkan atas mereka; yakni membina diri dengan tsaqafah Islam, mengemban dakwah Islam, dan menyebarluaskan tsaqafah­nya. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengabulkan do'a.


ISLAM SUATU METODE KEHIDUPAN YANG UNIK

            Islam adalah suatu pola hidup yang khas, yang sangat berbeda dengan pola hidup lainnya.  Islam mewajibkan pemeluknya untuk hidup dalam satu warna kehidupan tertentu dan konstan, yang tidak berganti dan berubah karena situasi maupun kondisi.  Islampun mengharuskan mereka untuk selalu mengikatkan diri dengan pola kehidupan tersebut dengan membentuk suatu kepribadian, yang menjadikan jiwa dan piki­rannya tidak akan merasakan  ketenangan dan kebahagiaan, kecuali  berada  dalam  pola kehidupan itu.

            Islam datang dengan serangkaian pemahaman tentang kehidupan yang membentuk pandangan hidup tertentu.  Islam hadir dalam bentuk garis-garis hukum yang global (khuthuuth 'ariidlah), yakni makna-makna tekstual yang umum, yang mampu memecahkan seluruh problematika kehidupan manusia.  Dengan demikian akan dapat digali (diistinbath) berbagai cara pemecahan setiap masalah yang muncul dalam kehidupan manu­sia.  Islam menjadikan cara-cara pemecahan problema kehidu­pan tersebut bersandar pada suatu landasan fikriyah (dasar pemikiran) yang dapat memancarkan seluruh pemikiran tentang kehidupan.  Kaidah itupun telah ditetapkan pula sebagai suatu standar pemikiran, yang dibangun di atasnya setiap pemikiran cabang (setiap pikiran baru yang muncul).  Seba­gaimana halnya Islam telah menjadikan hukum-hukum tentang pemecahan problema kehidupan, pemikiran dan ideologi, serta pandangan-pandangan tentang berbagai pendapat baru sebagai sesuatu yang terpancar dari Aqidah Islam, yang digali dari garis-garis hukum yang bersifat global itu.
            Islam memberikan batasan-batasan kepada manusia dengan pemikiran tertentu, tetapi tidak membatasi aktivitas berpi­kir manusia, bahkan memberikan kebebasan kepada akal manu­sia.  Islampun mengikat perilaku manusia dengan pemikiran-pemikiran dan hukum-hukum tertentu, namun tidak menjeratnya.  Bahkan, Islam telah memberinya keleluasaan.
            Oleh karena itu, pandangan seorang muslim terhadap kehidupan dunia ini adalah  suatu  pandangan  yang  penuh  dengan  cita-cita,  serius, realistis, dan proporsional; artinya dunia harus diraih, tetapi bukan menjadi tujuan dan tidak boleh dijadikan tujuan.  Seorang muslim akan bekerja di penjuru dunia ini, memakan rizqi yang berasal dari Allah, menikmati perhiasan-perhiasan dan rizqi yang baik (halal), yang telah dianugerahkan Allah kepada hambaNya, dengan kesadaran penuh bahwa dunia ini hanyalah tempat sementara, dan akhiratlah negeri yang kekal dan abadi.
            Hukum-hukum Islam telah memberikan  cara bagaimana manusia menyelesaikan masalah perdagangan dengan metodenya yang khas, sebagaimana menerangkan tata cara shalat. Islam mengatur masalah pernikahan dengan caranya yang unik, seba­gaimana mengatur masalah zakat. Islampun menjelaskan cara-cara pemilikan harta-benda berikut cara membelanjakannya dengan tata cara yang khas, sebagaimana menjelaskan masalah-masalah haji.  Islam juga memberikan perincian tentang transaksi dan mu'amalat dengan cara yang khas, sebagaimana merinci masalah do'a dan ibadah.  Islam menjelaskan pula  masalah huduud (seperti had pencurian, zina, peminum khamr, dan lain-lain, pen.) dan  jinayat (hukum pidana), serta sanksi-sanksi hukum lainnya,  sebagaimana menjelaskan ten­tang siksa Jahannam dan kenikmatan Jannah.  Di samping itu,  Islampun telah menunjukkan suatu bentuk pemerintahan dan metode penerapannya, sebagaimana telah memberikan suatu dorongan internal (berdasarkan rasa taqwa) untuk menerapkan hukum-hukum Islam dengan tujuan mencari keridlaan Allah SWT.  Begitu juga, Islam memberikan petunjuk bagaimana mengatur hubungan negara dengan  negara, ummat dan bangsa lainnya, sebagaimana memberi petunjuk untuk mengemban da'wah ke seluruh penjuru dunia.  Syari'at Islam telah mengharuskan kaum muslimin, memiliki sifat-sifat yang mulia, dan hal itu harus dianggap sebagai hukum-hukum Allah SWT, bukan karena sifat itu terpuji menurut pandangan manusia.
            Demikianlah, Islam mengatur hubungan manusia dengan dirinya sendiri,  hubungan dengan manusia lainnya, sebagai­mana mengatur hubungannya dengan Allah SWT dalam suatu keserasian pemikiran berikut cara memecahkan masalahnya.  Maka jadilah manusia sebagai mukallaf (yang dibebani hukum), yang senantiasa menjalani kehidupan ini dengan suatu doron­gan (motivasi), metode, arah, dan tujuan tertentu.

     Islam mewajibkan seluruh manusia untuk menempuh satu-satunya jalan ini dan meninggalkan jalan-jalan yang lain.  Islam memberikan ancaman siksa yang amat pedih di akhirat kelak, sebagaimana memperingatkan datangnya sanksi-sanksi yang berat di dunia ini.  Manusia, pasti akan merasakan salah satu jenis siksa itu, jika ia menyimpang dari jalan Islam, walaupun hanya seujung rambut.
            Oleh karena itu, seorang muslim akan menjalani kehidu­pan ini dengan suatu pemahaman yang khas tentang kehidupan tertentu.  Ia hidup dengan suatu corak dan pola kehidupan yang tertentu pula, sebagai konsekuensi dari pemelukannya terhadap Aqidah Islam, dan kewajibannya untuk mentaati perintah Allah SWT dan menjauhi laranganNya, serta kewaji­bannya untuk tetap berpegang teguh kepada hukum-hukum Islam.  Jadi memiliki suatu pemahaman  tertentu tentang kehidupan dan menjalani suatu pola kehidupan tertentu, adalah wajib bagi setiap muslim dan seluruh kaum muslimin, tanpa ada keraguan sedikitpun.
            Sesungguhnya Islam telah menjelaskan semua itu dengan gamblang dalam Kitab Al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah, yang tercakup dalam masalah aqidah dan hukum-hukum syari'atnya.

            Dengan demikian menjadi jelas bahwa Islam bukan hanya sekedar agama ritual belaka, bukan pula sekedar ide-ide teologi atau kepasturan.  Akan tetapi Islam adalah suatu metode kehidupan tertentu, di mana setiap muslim dan seluruh kaum muslimin wajib menjalani kehidupannya sesuai dengan metode ini.



ISLAM ADALAH MAFAHIM BAGI KEHIDUPAN, BUKAN SEKEDAR MAKLUMAT

            Mafahim Islam bukanlah pemahaman kepasturan, bukan pula informasi-informasi kegaiban tanpa dasar. Mafahim Islam tidak lain adalah pemikiran-pemikiran yang memiliki penunju­kan-penunjukan nyata, yang dapat ditangkap akal secara langsung, selama masih berada dalam batas jangkauan akalnya.  Namun bila hal-hal tersebut berada di luar jangkauan akal­nya, maka hal itu akan ditunjukkan secara pasti oleh sesuatu yang dapat  diindera, tanpa rasa keraguan sedikitpun.
            Karena itu, seluruh mafahim Islam berada di bawah penginderaan secara langsung, atau pada sesuatu yang dapat diindera secara langsung yang menunjukkan adanya pemahaman itu. Dengan kata lain, seluruh pemikiran Islam merupakan mafahim.  Sebab dapat dijangkau oleh akal, atau ditunjuk oleh sesuatu yang dapat dijangkau oleh akal. Tidak ada satu pemikiranpun di dalam Islam yang tidak memiliki mafhum.  Artinya, pemikiran itu memiliki fakta dalam benak dan dapat dijangkau oleh akal. Atau dapat diterima dengan sikap pasrah (memuaskan akal dan jiwanya) dan dipercaya secara pasti, bahwa faktanya ada di dalam benak dan apa yang menunjuknya dapat dijangkau oleh akal.
            Dengan demikian di dalam Islam tidak ditemukan hal-hal ghaib yang tidak masuk akal sama sekali (semacam dogma yang dipaksakan, pen.). Tetapi masalah-masalah ghaib yang diharuskan Islam untuk diimani adalah masalah ghaib yang dapat diterima melalui perantaraan akal, yaitu melalui sumber yang dapat dibuktikan kebenarannya melalui akal, yang tidak lain adalah Al-Qur'an dan Hadits-hadits mutawatir. 
            Berdasarkan hal ini, maka pemikiran-pemikiran Islam bersifat nyata, faktual, dan ada di dalam kehidupan. Sebab, semua pemikiran-pemikiran ini memiliki fakta di dalam benak, didasarkan pada proses penginderaan dan bersandarkan pada akal. Karena itu, sebenarnya akal manusia menjadi asas bangunan Islam, yakni aqidah dan syari'at Islam.
            Aqidah dan hukum-hukum Islam merupakan pemikiran yang memiliki fakta dan dapat dijangkau dengan riil, baik itu berupa hal-hal ghaib ataukah hal-hal nyata, juga keputu­san akal terhadap sesuatu (ide), atau hukum atas sesuatu  (pemecahan masalah),  atau  berita   dari  dan   tentang  sesuatu. Semuanya ini ada faktanya dan pasti adanya.  Dengan kata lain,  pemikiran-pemikiran Islam, hukum-hukumnya, hal-hal yang real inderawi, atau hal-hal ghaib,  semuanya adalah kenyataan yang memiliki fakta di dalam benak dan bersandar­kan pada akal manusia.
            Aqidah Islamiyah adalah keimanan kepada Allah, Malai­kat-MalaikatNya, Kitab-kitabNya, Rasul-rasulNya, Hari Kia­mat, dan Qadla-Qadar.   Pembenaran terhadap semua ini diban­gun dari kenyataan yang ada, dan tiap-tiap dari keimanan tersebut memiliki fakta di dalam benak.
            Iman kepada Allah, Al Qur'an, dan kenabian Muhammad saw dibina di atas penemuan bahwa wujud (eksistensi) Allah itu azali, tidak ada awal dan akhir bagiNya.  Dan akal telah menemukan secara inderawi bahwa Al-Qur'an itu Kalamullah berdasarkan kemu'jizatannya bagi manusia yang dapat diindera di setiap waktu.  Akalpun telah menemukan secara inderawi bahwa Muhammad saw adalah Nabi Allah dan RasulNya berdasar­kan bukti yang nyata bahwa beliau adalah yang membawa Al-Quran sebagai kalamullah yang membuat manusia tak berdaya untuk membuat yang semisalnya.  Maka ketiga hal ini, yaitu wujud (eksistensi) Allah, Al-Qur'an sebagai Kalamullah, dan Nabi Muhammad sebagai Rasulullah, dapat ditangkap oleh akal dengan perantaraan indera dan dapat diimani.  Dengan demiki­an tiga hal di atas memiliki fakta yang dapat diindera dalam benak dan merupakan fakta yang nyata.
     Adapun Iman kepada malaikat, kitab-kitab sebelum Al-Qur'an (seperti Taurat dan Injil), Nabi dan Rasul sebelum Rasulullah saw (seperti Musa, Isa, Harun, Nuh, Adam as), dibangun berdasarkan khabar dari Al-Qur'an dan Hadits muta­watir. Kaum muslimin diperintahkan membenarkan adanya semua itu. Dan itu semua memiliki fakta dalam benak, karena ber­sandarkan pada sesuatu yang terindera, yaitu Al Qur'an dan Hadits mutawatir. Berarti seluruhnya merupakan mafahim, sebab merupakan fakta dari ide-ide (Islam), yang dapat dijangkau dalam benak. 
            Sedangkan Iman kepada Qadla dan Qadar, dibangun di atas akal berdasarkan pengamatan terhadap perbuatan manusia; bahwa perbuatan yang telah dilakukan oleh manusia atau telah menimpa dirinya (arti Qadla); dan berdasarkan penangkapan secara aqliy dan inderawi, bahwa khasiat (karakteristik) yang dimiliki benda bukanlah diciptakan oleh benda itu sendiri (arti Qadar).  Buktinya, suatu pembakaran tidak akan terjadi kecuali dengan derajat panas atau aturan tertentu (misalnya pembakaran kayu perlu derajat panas tertentu yang lain dengan pembakaran besi, pen.).  Seandainya khasiyat itu diciptakan oleh api itu sendiri, maka kebakaran itu dapat terjadi sesuai dengan kehendaknya, tanpa tergantung pada derajat panas atau aturan tertentu. Dengan demikian maka jelaslah bahwa khasiat itu diciptakan Allah SWT, bukan ciptaan yang lainnya.  Oleh karena Qadla dan Qadar dapat ditangkap oleh akal secara langsung dengan perantaraan indera. Maka, keduanya itu diimani, menjadi fakta dalam benak, dan merupakan fakta yang terindera. Dengan demikian, keduanya merupakan mafahim, sebab merupakan fakta dari ide, yang dijangkau dalam benak.
            Berdasarkan penjelasan di atas, maka aqidah Islam merupakan mafahim yang pasti adanya dan pasti penunjukannya.  Aqidah Islam memiliki fakta dalam benak seorang muslim yang dapat menginderanya, atau mengindera sesuatu yang dapat menunjukkannya.  Dengan demikian Aqidah Islam akan dapat memberikan pengaruh besar terhadap manusia.
            Sedangkan hukum-hukum syara', kedudukannya adalah sebagai pemecah terhadap kenyataan atau problematika hidup manusia.  Di dalam menyelesaikan semua problema hidup ini diharuskan terlebih dahulu mengkaji dan memahami masalah yang dihadapi. Lalu mempelajari hukum-hukum Allah yang berkaitan dengan problema tersebut, dengan memahami nash-nash syara' yang berkaitan dengannya.  Kemudian pemahaman tersebut dipertimbangkan untuk mengetahui apakah itu hukum Allah atau bukan. Jika penerapan itu tepat, menurut pandan­gan seorang mujtahid, maka pemahaman itu pun merupakan hukum Allah. Jika tidak tepat, maka dicarilah makna atau nash lain, hingga ditemukan yang tepat dengan kenyataan itu. Dengan demikian, maka hukum-hukum Syara' merupakan pemikiran yang memiliki fakta dalam benak (mafhum), sebab hukum-hukum syara' merupakan pemecahan yang dapat diindera untuk suatu masalah yang nyata, yang dipahami dari nash-nash yang ada.  Maka berdasarkan hal ini hukum-hukum syara' adalah merupakan mafahim.
            Dengan demikian sesungguhnya aqidah Islam dan hukum-hukum syara' bukanlah pengetahuan yang semata-mata untuk dihafal, dan bukan pula sekedar pemuas akal.  Tetapi, keduanya merupakan mafahim yang mendorong manusia untuk berbuat, menjadikan perbuatannya selalu terkait, terikat, dan teratur karenanya.  Atas dasar inilah, maka seluruh ajaran Islam merupakan mafahim yang mengatur kehidupan manusia, bukan sekedar informasi atau pengetahuan semata.

0 komentar: