MUQADDIMAH
Membina diri dengan mendalami Tsaqafah Islamiyah adalah kewajiban atas kaum muslimin, baik
mendalami nash-nash syar'iy, atau sarana-sarana yang memungkinkannya untuk
mendalami dan menerapkan nash-nash tersebut. Tiada beda apakah mendalami
tsaqafah yang berkenaan dengan hukum-hukum syara', atau yang berhubungan dengan
pemikiran-pemikiran Islam.
Hanya saja, satu hal yang sangat menyakitkan umat ini
adalah semenjak Barat memaklumkan perang terhadap negeri-negeri Islam,
sekaligus memerangi kebudayaan dan peradabannya. Barat kemudian membentangkan
hukum-hukum, pemikiran-pemikiran, dan kekuasaan mereka di negeri-negeri Islam.
Sehingga akhirnya kaum Muslimin berpaling dari Tsaqafah Islam, menyusul
peristiwa pendegradasian kekuasaan Islam dan ketergelinciran kaum muslimin dari
selamatnya perasaan akan kemuliaan Islam. Semua itu adalah akibat adanya
propaganda-propaganda yang sesat dan menyesatkan terhadap Islam dan tsaqafahnya
yang disebarkan oleh para penganut kesesatan itu.
Karenanya, kami pandang ada suatu keperluan untuk
menyebarkan sebagian tsaqafah Islamiyah ini, dengan harapan agar kiranya umat
manusia, baik yang Islam maupun yang bukan, akan gandrung dengan apa yang mampu
membenahi akal mereka, memperbaiki perasaan mereka, dan mengobati kemerosotan
berpikir yang merajalela di negeri-negeri mereka.
Kepada Allah jua kami memohon, semoga berkenan memberi
pertolongan kepada kaum muslimin untuk menegakkan apa yang diwajibkan atas
mereka; yakni membina diri dengan tsaqafah Islam, mengemban dakwah Islam, dan
menyebarluaskan tsaqafahnya. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha
Mengabulkan do'a.
ISLAM SUATU METODE
KEHIDUPAN YANG UNIK
Islam
adalah suatu pola hidup yang khas, yang sangat berbeda dengan pola hidup
lainnya. Islam mewajibkan pemeluknya
untuk hidup dalam satu warna kehidupan tertentu dan konstan, yang tidak
berganti dan berubah karena situasi maupun kondisi. Islampun mengharuskan mereka untuk selalu
mengikatkan diri dengan pola kehidupan tersebut dengan membentuk suatu
kepribadian, yang menjadikan jiwa dan pikirannya tidak akan merasakan ketenangan dan kebahagiaan, kecuali berada
dalam pola kehidupan itu.
Islam datang dengan serangkaian pemahaman tentang
kehidupan yang membentuk pandangan hidup tertentu. Islam hadir dalam bentuk garis-garis hukum
yang global (khuthuuth 'ariidlah),
yakni makna-makna tekstual yang umum, yang mampu memecahkan seluruh
problematika kehidupan manusia. Dengan
demikian akan dapat digali (diistinbath) berbagai cara pemecahan setiap masalah
yang muncul dalam kehidupan manusia.
Islam menjadikan cara-cara pemecahan problema kehidupan tersebut
bersandar pada suatu landasan fikriyah
(dasar pemikiran) yang dapat memancarkan seluruh pemikiran tentang
kehidupan. Kaidah itupun telah
ditetapkan pula sebagai suatu standar pemikiran, yang dibangun di atasnya
setiap pemikiran cabang (setiap pikiran baru yang muncul). Sebagaimana halnya Islam telah menjadikan
hukum-hukum tentang pemecahan problema kehidupan, pemikiran dan ideologi, serta
pandangan-pandangan tentang berbagai pendapat baru sebagai sesuatu yang
terpancar dari Aqidah Islam, yang digali dari garis-garis hukum yang bersifat
global itu.
Islam memberikan batasan-batasan kepada manusia dengan
pemikiran tertentu, tetapi tidak membatasi aktivitas berpikir manusia, bahkan
memberikan kebebasan kepada akal manusia.
Islampun mengikat perilaku manusia dengan pemikiran-pemikiran dan
hukum-hukum tertentu, namun tidak menjeratnya.
Bahkan, Islam telah memberinya keleluasaan.
Oleh karena itu, pandangan seorang muslim terhadap
kehidupan dunia ini adalah suatu pandangan
yang penuh dengan
cita-cita, serius, realistis, dan
proporsional; artinya dunia harus diraih, tetapi bukan menjadi tujuan dan tidak
boleh dijadikan tujuan. Seorang muslim
akan bekerja di penjuru dunia ini, memakan rizqi yang berasal dari Allah,
menikmati perhiasan-perhiasan dan rizqi yang baik (halal), yang telah
dianugerahkan Allah kepada hambaNya, dengan kesadaran penuh bahwa dunia ini
hanyalah tempat sementara, dan akhiratlah negeri yang kekal dan abadi.
Hukum-hukum Islam telah memberikan cara bagaimana manusia menyelesaikan masalah
perdagangan dengan metodenya yang khas, sebagaimana menerangkan tata cara
shalat. Islam mengatur masalah pernikahan dengan caranya yang unik, sebagaimana
mengatur masalah zakat. Islampun menjelaskan cara-cara pemilikan harta-benda
berikut cara membelanjakannya dengan tata cara yang khas, sebagaimana
menjelaskan masalah-masalah haji. Islam
juga memberikan perincian tentang transaksi dan mu'amalat dengan cara yang
khas, sebagaimana merinci masalah do'a dan ibadah. Islam menjelaskan pula masalah huduud
(seperti had pencurian, zina, peminum khamr, dan lain-lain, pen.) dan jinayat
(hukum pidana), serta sanksi-sanksi hukum lainnya, sebagaimana menjelaskan tentang siksa Jahannam dan kenikmatan Jannah.
Di samping itu, Islampun telah
menunjukkan suatu bentuk pemerintahan dan metode penerapannya, sebagaimana
telah memberikan suatu dorongan internal (berdasarkan rasa taqwa) untuk
menerapkan hukum-hukum Islam dengan tujuan mencari keridlaan Allah SWT. Begitu juga, Islam memberikan petunjuk
bagaimana mengatur hubungan negara dengan
negara, ummat dan bangsa lainnya, sebagaimana memberi petunjuk untuk
mengemban da'wah ke seluruh penjuru dunia.
Syari'at Islam telah mengharuskan kaum muslimin, memiliki sifat-sifat
yang mulia, dan hal itu harus dianggap sebagai hukum-hukum Allah SWT, bukan
karena sifat itu terpuji menurut pandangan manusia.
Demikianlah,
Islam mengatur hubungan manusia dengan dirinya sendiri, hubungan dengan manusia lainnya, sebagaimana
mengatur hubungannya dengan Allah SWT dalam suatu keserasian pemikiran berikut
cara memecahkan masalahnya. Maka jadilah
manusia sebagai mukallaf (yang
dibebani hukum), yang senantiasa menjalani kehidupan ini dengan suatu dorongan
(motivasi), metode, arah, dan tujuan tertentu.
Islam mewajibkan seluruh manusia untuk
menempuh satu-satunya jalan ini dan meninggalkan jalan-jalan yang lain. Islam memberikan ancaman siksa yang amat
pedih di akhirat kelak, sebagaimana memperingatkan datangnya sanksi-sanksi yang
berat di dunia ini. Manusia, pasti akan
merasakan salah satu jenis siksa itu, jika ia menyimpang dari jalan Islam,
walaupun hanya seujung rambut.
Oleh karena itu, seorang muslim akan menjalani kehidupan
ini dengan suatu pemahaman yang khas tentang kehidupan tertentu. Ia hidup dengan suatu corak dan pola
kehidupan yang tertentu pula, sebagai konsekuensi dari pemelukannya terhadap
Aqidah Islam, dan kewajibannya untuk mentaati perintah Allah SWT dan menjauhi
laranganNya, serta kewajibannya untuk tetap berpegang teguh kepada hukum-hukum
Islam. Jadi memiliki suatu
pemahaman tertentu tentang kehidupan dan
menjalani suatu pola kehidupan tertentu, adalah wajib bagi setiap muslim dan
seluruh kaum muslimin, tanpa ada keraguan sedikitpun.
Sesungguhnya Islam telah menjelaskan semua itu dengan
gamblang dalam Kitab Al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah, yang tercakup dalam
masalah aqidah dan hukum-hukum syari'atnya.
Dengan demikian menjadi jelas bahwa Islam bukan hanya
sekedar agama ritual belaka, bukan pula sekedar ide-ide teologi atau
kepasturan. Akan tetapi Islam adalah
suatu metode kehidupan tertentu, di mana setiap muslim dan seluruh kaum muslimin
wajib menjalani kehidupannya sesuai dengan metode ini.
ISLAM ADALAH MAFAHIM
BAGI KEHIDUPAN, BUKAN SEKEDAR MAKLUMAT
Mafahim Islam
bukanlah pemahaman kepasturan, bukan pula informasi-informasi kegaiban tanpa
dasar. Mafahim Islam tidak lain adalah pemikiran-pemikiran yang memiliki
penunjukan-penunjukan nyata, yang dapat ditangkap akal secara langsung, selama
masih berada dalam batas jangkauan akalnya.
Namun bila hal-hal tersebut berada di luar jangkauan akalnya, maka hal
itu akan ditunjukkan secara pasti oleh sesuatu
yang dapat diindera, tanpa rasa keraguan
sedikitpun.
Karena itu, seluruh mafahim Islam berada di bawah
penginderaan secara langsung, atau pada sesuatu
yang dapat diindera secara langsung yang menunjukkan adanya pemahaman itu.
Dengan kata lain, seluruh pemikiran Islam merupakan mafahim. Sebab dapat dijangkau oleh akal, atau
ditunjuk oleh sesuatu yang dapat
dijangkau oleh akal. Tidak ada satu pemikiranpun di dalam Islam yang tidak
memiliki mafhum. Artinya, pemikiran itu memiliki fakta dalam
benak dan dapat dijangkau oleh akal. Atau dapat diterima dengan sikap pasrah
(memuaskan akal dan jiwanya) dan dipercaya secara pasti, bahwa faktanya ada di
dalam benak dan apa yang menunjuknya dapat dijangkau oleh akal.
Dengan
demikian di dalam Islam tidak ditemukan hal-hal ghaib yang tidak masuk akal
sama sekali (semacam dogma yang dipaksakan, pen.). Tetapi masalah-masalah ghaib
yang diharuskan Islam untuk diimani adalah masalah ghaib yang dapat diterima
melalui perantaraan akal, yaitu melalui sumber yang dapat dibuktikan kebenarannya
melalui akal, yang tidak lain adalah Al-Qur'an dan Hadits-hadits mutawatir.
Berdasarkan
hal ini, maka pemikiran-pemikiran Islam bersifat nyata, faktual, dan ada di
dalam kehidupan. Sebab, semua pemikiran-pemikiran ini memiliki fakta di dalam
benak, didasarkan pada proses penginderaan dan bersandarkan pada akal. Karena
itu, sebenarnya akal manusia menjadi asas bangunan Islam, yakni aqidah dan
syari'at Islam.
Aqidah
dan hukum-hukum Islam merupakan pemikiran yang memiliki fakta dan dapat dijangkau
dengan riil, baik itu berupa hal-hal ghaib ataukah hal-hal nyata, juga keputusan
akal terhadap sesuatu (ide), atau hukum atas sesuatu (pemecahan masalah), atau
berita dari dan
tentang sesuatu. Semuanya ini ada
faktanya dan pasti adanya. Dengan kata
lain, pemikiran-pemikiran Islam,
hukum-hukumnya, hal-hal yang real inderawi, atau hal-hal ghaib, semuanya adalah kenyataan yang memiliki fakta
di dalam benak dan bersandarkan pada akal manusia.
Aqidah Islamiyah adalah keimanan kepada Allah, Malaikat-MalaikatNya,
Kitab-kitabNya, Rasul-rasulNya, Hari Kiamat, dan Qadla-Qadar. Pembenaran terhadap semua ini dibangun dari
kenyataan yang ada, dan tiap-tiap dari keimanan tersebut memiliki fakta di
dalam benak.
Iman kepada Allah, Al Qur'an, dan kenabian Muhammad saw
dibina di atas penemuan bahwa wujud
(eksistensi) Allah itu azali, tidak
ada awal dan akhir bagiNya. Dan akal
telah menemukan secara inderawi bahwa Al-Qur'an itu Kalamullah berdasarkan kemu'jizatannya bagi manusia yang dapat
diindera di setiap waktu. Akalpun telah
menemukan secara inderawi bahwa Muhammad saw adalah Nabi Allah dan RasulNya
berdasarkan bukti yang nyata bahwa beliau adalah yang membawa Al-Quran sebagai
kalamullah yang membuat manusia tak berdaya untuk membuat yang semisalnya. Maka ketiga hal ini, yaitu wujud (eksistensi)
Allah, Al-Qur'an sebagai Kalamullah, dan Nabi Muhammad sebagai Rasulullah,
dapat ditangkap oleh akal dengan perantaraan indera dan dapat diimani. Dengan demikian tiga hal di atas memiliki
fakta yang dapat diindera dalam benak dan merupakan fakta yang nyata.
Adapun Iman kepada malaikat, kitab-kitab
sebelum Al-Qur'an (seperti Taurat dan Injil), Nabi dan Rasul sebelum Rasulullah
saw (seperti Musa, Isa, Harun, Nuh, Adam as), dibangun berdasarkan khabar dari Al-Qur'an dan Hadits mutawatir.
Kaum muslimin diperintahkan membenarkan adanya semua itu. Dan itu semua
memiliki fakta dalam benak, karena bersandarkan pada sesuatu yang terindera,
yaitu Al Qur'an dan Hadits mutawatir. Berarti seluruhnya merupakan mafahim,
sebab merupakan fakta dari ide-ide (Islam), yang dapat dijangkau dalam
benak.
Sedangkan Iman kepada Qadla dan Qadar, dibangun di atas
akal berdasarkan pengamatan terhadap perbuatan manusia; bahwa perbuatan yang
telah dilakukan oleh manusia atau telah menimpa dirinya (arti Qadla); dan
berdasarkan penangkapan secara aqliy dan inderawi, bahwa khasiat
(karakteristik) yang dimiliki benda bukanlah diciptakan oleh benda itu sendiri
(arti Qadar). Buktinya, suatu pembakaran
tidak akan terjadi kecuali dengan derajat panas atau aturan tertentu (misalnya
pembakaran kayu perlu derajat panas tertentu yang lain dengan pembakaran besi,
pen.). Seandainya khasiyat itu
diciptakan oleh api itu sendiri, maka kebakaran itu dapat terjadi sesuai dengan
kehendaknya, tanpa tergantung pada derajat panas atau aturan tertentu. Dengan
demikian maka jelaslah bahwa khasiat itu diciptakan Allah SWT, bukan ciptaan
yang lainnya. Oleh karena Qadla dan
Qadar dapat ditangkap oleh akal secara langsung dengan perantaraan indera. Maka,
keduanya itu diimani, menjadi fakta dalam benak, dan merupakan fakta yang
terindera. Dengan demikian, keduanya merupakan mafahim, sebab merupakan fakta
dari ide, yang dijangkau dalam benak.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka aqidah Islam
merupakan mafahim yang pasti adanya dan pasti penunjukannya. Aqidah Islam memiliki fakta dalam benak
seorang muslim yang dapat menginderanya, atau mengindera sesuatu yang dapat menunjukkannya. Dengan demikian Aqidah Islam akan dapat
memberikan pengaruh besar terhadap manusia.
Sedangkan
hukum-hukum syara', kedudukannya adalah sebagai pemecah terhadap kenyataan atau
problematika hidup manusia. Di dalam
menyelesaikan semua problema hidup ini diharuskan terlebih dahulu mengkaji dan
memahami masalah yang dihadapi. Lalu mempelajari hukum-hukum Allah yang
berkaitan dengan problema tersebut, dengan memahami nash-nash syara' yang
berkaitan dengannya. Kemudian pemahaman
tersebut dipertimbangkan untuk mengetahui apakah itu hukum Allah atau bukan.
Jika penerapan itu tepat, menurut pandangan seorang mujtahid, maka pemahaman
itu pun merupakan hukum Allah. Jika tidak tepat, maka dicarilah makna atau nash
lain, hingga ditemukan yang tepat dengan kenyataan itu. Dengan demikian, maka
hukum-hukum Syara' merupakan pemikiran yang memiliki fakta dalam benak
(mafhum), sebab hukum-hukum syara' merupakan pemecahan yang dapat diindera
untuk suatu masalah yang nyata, yang dipahami dari nash-nash yang ada. Maka berdasarkan hal ini hukum-hukum syara'
adalah merupakan mafahim.
Dengan
demikian sesungguhnya aqidah Islam dan hukum-hukum syara' bukanlah pengetahuan
yang semata-mata untuk dihafal, dan bukan pula sekedar pemuas akal. Tetapi, keduanya merupakan mafahim yang
mendorong manusia untuk berbuat, menjadikan perbuatannya selalu terkait,
terikat, dan teratur karenanya. Atas
dasar inilah, maka seluruh ajaran Islam merupakan mafahim yang mengatur
kehidupan manusia, bukan sekedar informasi atau pengetahuan semata.
0 komentar:
Posting Komentar